Bikin Jama'ah Baru? why not

Menyatukan seluruh umat Islam dalam satu wadah adalah sebuah mimpi. Apalagi bila wadah itu hanya sebuah ormas, partai, pengajian atau jamaah, maka lebih tidak mungkin lagi. Kalau ada sekelompok orang mendirikan ormas, partai, pengajian atau jamaah, tentu jangan sekali-kali berpikiran bahwa semua umat Islam harus berada di dalamnya. Selain tidak akan muat, juga tidak semua umat Islam mau. Ya, tidak muat dan tidak mau.

Tidak muat, karena umat Islam ini sangat banyak jumlahnya. Bagaimana mengatur 230 juta umat Islam di negeri in dan memasukkannya hanya ke dalam sebuah ormas yang kecil mungil, atau partai yang tujuannya hanya sekedar mengantarkan orang-orang ke jenjang jabatan ini dan itu.

Tidak akan mau, karena belum tentu ormas, partai atau jamaah itu memuaskan keinginan, kemauan, dan hajat hidup semua orang. Mungkin platformnya tidak sesuai. Atau falsafahnya kurang cocok, atau boleh jadi tidak ada kecocokan antara sesama, baik antara pengurus dengan yang diurus, atau dengan sesama pengurus sendiri, atau dengan sesama yang diurus.

Maka sekali lagi, menyatukan seluruh umat Islam ke dalam satu institusi ibarat memasukkan gajah ke dalam telur ayam. Tidak akan muat, kalau pun dipaksa, telur ayam itu pasti pecah keinjak-injak gajah.

Maka kalau ada umat Islam yang dahulu pernah bersatu di dalam satu wadah, kemudian karena satu dan lain hal, keluar dan memisahkan diri, jangan sekali-kali ditangisi atau disesali. Ibarat anak ayam yang sudah besar, tidak harus selamanya hidup di bawah ketiak induknya. Ada hari dimana anak ayam itu harus meneruskan kehidupan, menjadi mandiri dan memisahkan diri dari induknya, untuk seterusnya.

Di sisi lain, pe-er pe-er besar umat ini semakin hari semakin banyak, baik dari segi jumlah maupun dari kualitas tantangannya. Sebuah ormas, jamaah atau partai, tentu tidak akan mampu menangani semuanya, karena keterbatasan-keterbatasan, di samping pastinya punya skala prioritas yang dianggap harus lebih diutamakan, minimal dalam pandangan pimpinannya.

Padahal semua pe-er umat itu adalah skala prioritas. Semua harus didahulukan, karena semuanya penting dan mendesak. Justru dengan memecah menjadi beberapa institusi, masing-masing bisa lebih memilih untuk membuat skala prioritas masing-masing, bekerja sesuai spesialisasi masing-masing, dan tidak harus terbebani dengan aturan, ketentuan serta kemauan selera dari pusat.

Indonesia sebagai sebuah negara saja butuh dipecah menjadi 32 profinsi, yang kemudian diberikan otonomi, meski masih rada rancu aturannya. Tapi hal itu mengisyaratkan, pemerintah pusat tidak akan mampu menangani begitu banyak tugas, mengingat luasnya tanah air ini.

Maka biarkanlah umat Islam membangun banyak jamaah, ormas atau apa pun istilahnya. Biar semakin banyak yang mengurusi umat Islam, sesuai dengan konsentrasi, kemampuan, dan skill yang mereka miliki. Syaratnya, sebaiknya pekerjaan itu jangan tumpang tindih. Selain itu sebaiknya ada kerjasama antara sekian banyak institusi itu, minimal sama-sama kerja, tapi jangan saling mengerjai, dan juga jangan jadi kerjaan baru.

Kalau masing-masing punya bidang kerja masing-masing dan tidak tumpang tindih, di lapangan pasti akan timbul harmonisasi. Sebaliknya, kalau bidangnya sama, programnya sama, cara-caranya sama, semua sama, cuma beda pengurus saja, apalagi yang dijadikan sasaran anggotanya itu-itu juga, mohon maaf, yang pasti terjadi adalah bentrok di jalanan. Kisah lama terulang lagi, rebutan jamaah, tarik-tarikan, ujung-ujungnya saling mencaci, mencela, mencemooh, mencerca, dan menghujat. Naudzubillah tsumma naudzu billah.

Mereka yang menyempal dari satu ormas, kalau ternyata cuma bisa bikin ormas baru dengan pola yang agak mirip-mirip, itu namanya perpecahan yang tidak berguna. Mereka yang menyempal dari suatu jamaah, kalau bisanya cuma bikin jamaah yang mirip-mirip dengan sebelumnya, itu namanya barisan sakit hati.Cuma sekedar tidak puas dengan kepemimpinan sebelumnya.

Seharusnya, kalau pun keluar dari suatu institusi atau jamaah, maka yang dikerjakan adalah sesuatu yang tidak dikerjakan oleh institusi sebelumnya, sesuatu yang belum pernah dikerjakan oleh siapa pun, tetapi punya manfaat yang nyata, nilai guna yang pasti dan peran yang amat penting buat umat Islam.

Gerakan Penegak Al-Quran

Misalnya, dari pada ribut-ribut di dalam suatu jamaah dan saling cakar dan saling ceker, mending keluar dan bikin gerakan pemberantasan buta huruf Al-Quran yang menjadi semua anak lulusan SD pasti sudah fasih membaca Al-Quran, sesuai dengan ketentuan ilmu qiraah.

Kalau itu bisa dilakukan, subhanallah, betapa besarnya peran jamaah baru itu, sebab mengajar Al-Quran adalah sebaik-baik orang, seperti sabda Nabi : khairukum man ta`allamal Qurana wa`allamahu, sebaik-baik kalian adalah orang yang mengajarkan Al-Quran dan mengajarkannya.

Pengajaran baca Al-Quran bukannya tidak ada selama ini. Ada sih ada, tapi masih kurang masif. Buktinya, kita masih saja mendapati siswa sekolah yang `bloon` kagak bisa mengeja Al-Quran. Nah, dari pada sibuk saling hujat dan saling menggaruk borok sesama di dalam satu jamaah yang sudah lama, mengapa tidak bikin jamaah baru dengan nama, misalnya Jamaah Penegak Al-Quran, atau Harakah I`adah Kitab was Sunnah (Pergerakan Mengembalikan Quran dan Sunnah).

Gerakan Ihya`us Sunnah

Bikin jamaah yang juga bagus misalnya gerakan mengajarkan hadits nabawi. Visi dan misinya sederhana tapi dampak dan manfaatnya luar biasa besar. Bagaimana tidak, masyarakat diajarkan dasar-dasar ilmu hadits, serta cara melakukan takhrij hadits dengan benar. Pekerjaan seperti ini masih belum digarap secara serius oleh sekumpulan aktifis, masih cenderung dikerjakan secara individu oleh satu dua orang ustadz yang kuliah di fakultas hadits.

Padahal berapa banyak hadits palsu yang bergentayangan di tengah masyarakat. Dan berapa banyak orang saling tuduh sesat dan ahli bid`ah, karena pemahamannya yang terbatas terhadap hadits palsu. Apalagi sekarang ini juga muncul para ahli hadits palsu yang sama sekali tidak punya kompetensi dalam ilmu hadits, kecuali hanya klaim dari murid-muridnya.

Umat Islam sangat membutuhkan pencerahan besar dan masif dalam kesadaran menggunakan hadits-hadits yang shahih, sesuai dengan kaidah dan ketentuan yang sudah baku dalam ilmu hadits.

Gerakan Memasyarakatkan Shalat

Bisa juga sebagian dari umat ini membangun sebuah gerakan untuk menghidupkan dan mempopulerkan shalat, dimana tujuan utama jamaah ini memberi fasilitas kepada semua orang untuk belajar shalat yang sifatnya praktis, mudah, serta cepat. Mengingat betapa banyak umat Islam yang tidak shalat, cuma karena mereka tidak tahu bahwa ternyata shalat itu bisa dikerjakan dengan praktis, mudah dan juga cepat.

Jamaah ini bisa saja berbuat lebih, misalnya membangun dan membiayai tempat shalat di semua tempat, baik di gedung pemeritahan, pasar, terminal, kantor, pabrik dan seterusnya. Pokoknya, dimana ada orang yang harus shalat, jamaah ini pasti kesana memberikan fasilitas.

Bisa juga kampanye untuk shalat, lewat memasang iklan layanan masyarakat di semua jaringan televisi swasta yang bertaburan. Para seniman dan team kreati tentu bisa diminta ikut serta membuat iklan yang menarik, intinya menyadarkan umat untuk tidak pernah tinggal shalat 5 waktu. Sekalian petunjuk praktis tata cara shalat di tengah kesibukan, seperti shalat di atas trotoar, halte bus, emperan gedung, gang sempit dan sebagainya. Hal itu dibutuhkan karena umat Islam selama ini kebanyakan hanya berpkir bahwa shalat itu harus di masjid atau mushalla saja. Kalau tidak di masjid atau mushalla, maka mendingan tidak shalat. Celaka!!!

Nah kalau ada jamaah yang visi, misi dan program serta platformnya seperti ini, saya yakin semua orang mau jadi anggotanya, mau juga berinfaq membiayai semua pembangunan fasilitas shalat. Sebab program kerjanya real, nyata, ada tongkrongannya yang bisa dilihat.

Coba bandingkan dengan apa yang dihasilkan oleh sebuah partai yang ber-aroma agama misalnya, buat masyarakat kecil, rasanya partai itu tidak ada bekas dan manfaatnya, kecuali sekedar bagi-bagi kaos di hari-hari kampanye. Itulah yang langsung dirasakan umat.

Bukankah Kita Tidak Boleh Berpecah-Belah?

Benar, kita haram berpecah belah, dan haram juga saling gontok-gontokan dengan sesama umat Islam. Berada dalam satu atap tapi tiap hari bertengkar rebutan ini dan itu, itulah yang dimaksud dengan berpecah belah.Itu yang haram.

Sedangkan kalau kita punya banyak jamaah tapi semua rukun saling bela, saling bantu dan saling husnudzdzan, tentu itu bukan perpecahan.

Bisa kita ibaratkan kita punya anak yang sudah dewasa, lalu berumah-tangga sendiri dan memilih untuk punya rumah sendiri. Yang seperti itu tentu itu bukan berpecah belah. Justru tiap orang dan tiap keluarga harus harus punya rumah sendiri-sendiri, meski awalnya masih sederhana dan jelek. Tetapi mandiri dan bisa saling menjaga privasi.

Maka membangun seribu atau sejuta ormas, jamaah atau partai lagi, menurut saya sih oke-oke aja, tidak masalah. It`s not a big deal. Yang penting, masing-masing punya manfaat, punya nilai tambah, ada peran nyata, tidak saling bertengkar dan main jegal.

Bahwa tiap umat Islam harus berada dalam satu jamaah, ya agama Islam ini adalah jamaah. Dan kalau yang dimaksud adalah sebuah institusi, umat Islam saat ini memang sedang tidak punya institusi itu. Selama 14 abad memang punya, yaitu khilafah islamiyah sejak dari masa Rasulullah SAW hingga tahun 1924 M kemarin. Setelah itu, umat ini memang tidak punya jamaatul muslimin. Sementara yang ada sekarang ini cuma miniatur dari maket jamaah, 100% bukan jamaah yang dimaksud.

Sedangkan jamaatul-muslimin, institusi tunggal yang seluruh umat Islam sedunia ini masuk di dalamnya adalah khilafah islamiyah, yang entah kapan lagi akan berdiri. Tapi yang jelas, bukan jamaah-jamaah yang sekarang ini bergentayang di sekeliling kita. Mereka bukan jamaah dalam pengertian dimana seluruh umat Islam harus berbai`at kepadanya. Kalau setuju, nyaman, dan doyan dengan jamaah itu, silahkan ikuti. Kalau sebaliknya, ya tinggalkan saja. Tidak ada salahnya sedikit pun.

Berhubung tidak ada satu pun dari jamaah-jamaah itu yang berhak mengklaim bahwa dirinya adalah jamaatul-muslimin yang dimaksud. Masuk satu jamaah itu atau tidak, tidak ada pengaruhnya dalam nilai aqidah, keimanan, keislaman atau derajat taqwa seseorang.

Dan yang pasti tidak ada jaminan apapun kalau masuk menjadi anggota jamaah itu, lantas dipastikan menjadi orang baik, shalih, beriman, atau jaminan masuk surga. Sama sekali tidak ada. Malah yang pada nyolong, korup, zina, nikah tanpa wali dan memelihara dosa-dosa besar pun justru ada. So, ikut atau tidak ikut, tidak menjamin apa pun.

Wassalam,

Ahmad Syarwat, Lc
sumber: ustsarwat.com

Tidak ada komentar: