Apa yang membuat kita bisa demikian peduli pada Mesir, pada Muhammad
Mursi padahal sama sekali tak ada “hubungan dekat” antara kita dan
mereka?
Saya mengenal nama Ikhwanul Muslimin sekitar tahun 1990-an. Waktu
remaja saat itu, kehidupan pribadi dan keluarga tengah dilanda kemelut
hebat. Saat penuh ujicoba, manusia biasanya lebih dekat kepada Tuhan.
Ketika itu, pengajian tasawwuf menjadi pilihan. Saya bisa menghabiskan
waktu berjam-jam di jamaah tasawwuf, berdzikir dengan mata terpejam dan
airmata berlinangan hingga tersedu-sedu. Bahan bacaan saya saat itu
sangat beragam. Mulai kita tasawwuf , kitab klenik sampai sebuah buku
yang saya lupa judulnya dan berapa halamannya . Tapi tokohnya saya
sangat-sangat ingat : Zainab Al Ghazali. Entah mengapa, sosoknya yang
terdzalimi seketika menggantikan idola saya yang saat itu masih
berputar-putar di Tommy Page dan Richard Marx ( A Shoulder to Cry On ;
Right Here Waiting).
Tommy Page yang keren dan cool, Marx yang romantic man kok rasanya
jadi kalah jauh pamor dengan Zainab Al Ghazali. Diam-diam, saya jadi
mencari tahu, siapa sih Zainab Al Ghazali. Dan hingga saat ini, ia salah
satu tokoh perempuan idola saya. Meski, antara saya dan Zainab al
Ghazali tak terjalin hubungan darah, ia tak kenal saya, ia pun mana
sempat memberikan bantuan ke saya. Kenapa saya mencintainya ya?
Ikhwanul Muslimin
Saya tak membahas masalah sejarahnya. Itu sudah diketahui banyak
orang. Saya juga tak ingin membelanya mati-matian, emosional, apalagi
sampai sekedar asal cuap. Pada awalnya, saya beranggapan dakwah politik
hanya sekedar kamuflase. Di tasawwuf dulu, bukankah manusia terbaik
adalah yang hatinya senantiasa ingat Allah, senantiasa berdzikir dan
dimanapun ridho padaNya? Yang terbaik, apakah bukan mereka yang
senantiasa melazimkan dzikir kemana-mana. Saat itu saya merasa menjadi
manusia terbaik, sebab saya bisa dzikir sepanjang hari, baik hati maupun
lisan. Bila diingat, tentu tak salah. Tapi pengajian tasawwuf saat itu
membuat saya salah langkah (bukan tasawwuf itu yang salah).
Nilai saya jeblok. Ah, itu kan memang kehendak Allah.
Saya nggak punya uang. Ah, memang itu maunya Allah.
Saya nggak bisa membantu orang. Ah, nanti Allah yang akan bantu dia.
Sungguh, keterdiaman saya membuat merasa menjadi orang terbaik di dunia
ini. Apalagi saya sanggup dzikir sepanjang hari sembari beraktivitas.
Seiiring waktu, saat benturan hidup tak tertahankan. Seorang saudara
terjebak narkoba. Seorang saudara jobless, hingga terpaksa menjadi
preman. Pergaulan bebas, sehingga beberapa sahabat dekat hamil di luar
nikah. Tetap saat itu saya berpikir, “ ini kan kehendak Allah? Orang
berdosa, orang beribadah adalah kehendak Allah. Kita hanya berdzikir.”
Tetapi, ratapan seorang ibu janda yang berurai airmata di depan saya
karena putranya bolak balik di penjara karena kasus narkoba, bolak balik
jadi penjahat karena nggak punya kerja menohok. “Aku sudah berdoa, aku
sudah bekerja, aku sudah berupaya…tapi apa bukan salah pemerintah
sehingga narkoba tersedia dimana-mana? Apa bukan salah pemerintah kalau
anakku nggak bisa dapat kerja?” Saat itu hatiku tertohok mendengarnya.
Ah, dzikir. Dzikir saja, bu. InsyaAllah ini kehendak Allah.
Lama-lama aku berpikir, apa aku bukan orang apatis ya? Apa aku bukan
orang yang malas berusaha, belajar , cari uang dan selalu mengandalkan :
ah ini kehendak Allah. Apa aku bukan jenis orang yang kejam ya, karena
tiap kali orang minta bantuan aku bilang : belum rezeki anda ya, aku
nggak ada dana (karena aku nggak mau kerja, nggak mau belajar/kuliah,
sibuk dzikir seharian)…padahal jujur, aku anak pintar intelgensi dan
pintar bekerja. Aku bisa bekerja keras untuk punya uang banyak, dan bisa
untuk membantu orang lain.
Lalu, aku mulai mengenal buku-buku pergerakan. Apa itu Ikhwanul
Muslimin? Konsepnya yang syumuliyah membuat jiwa remajaku yang bertanya
sekian banyak hal seolah mendapatkan sinyal : narkoba, pemerintah,
kemiskinan, kehendak Tuhan, kehendak manusia dll. Perlahan aku mulai
bertanya-tanya : siapa Ikhwanul Muslimin ini? Maka, bertahun kemudian
aku menjadi pengagum gerakan ini.
Ya. Berkecimpung dalam politik memang kotor. Tapi apakah kita rela
seluruh jajaran petinggi, pejabat negara, pemegang keputusan adalah
orang-orang bejat? Bukankah seharusnya dijabat orang-orang baik?
Tapi politik itu kotor. Ya. Lalu menunggu sampai mereka mau
memberikannya pada kita? Secara logika mana mungkin seorang mafia
menyerahkan bisnis kartelnya pada polisi jujur. Maka, terkagum-kagum
pada kiprah Ikhwanul Muslimin yang memulainya dari dakwah sosial,
pendidikan, dan merambah ranah politik dengan cara-cara elegan.
Pemerintahan yang notabene adalah kumpulan perusahaan, kumpulan
asset, kumpulan sumber daya, kumpulan kepentingan; siapa yang harus
mengendalikannya? Tentu orang-orang yang amanah. Dan, hingga saat ini
masih terkagum-kagum dengan sepak terjang Ikhwanul Muslimin yang berisi
beragam manusia : yang intelek hingga buruh, pengusaha hingga pelajar,
anak-anak hingga orangtua. Semuanya bergerak dengan orbit yang sama :
membangun dunia yang lebih baik. Dan…siapa sih yang tidak terpana
melihat orang-orang cerdas, sukses dalam karir, sukses dalam rumah
tangga….penghafal Quran dan dai pula? Ups, runtuh sudah skema dalam pola
pikir kita bahwa kesuksesan itu identik dengan kebrutalan, main sikat,
main tindas, main rampas. Kemenangan bisa diraih dengan cara sportif,
fair, transparan.
Everything is fair in love an war tampaknya tak berlaku bagi
Ikhwanul Muslimin. Meski tercambuk berdarah-darah, Ikhwanul Muslimin
mampu memenangkan kompetisi tanpa kecurangan apalagi kekerasan. Masih
ingat kan konsep Swadeshi nya Mahathma Gandhi? Dengan anggun dan elegan,
Ikhwanul Muslimin memenangkan hati rakyat.
“Aku memenangkan hati manusia dengan bersikap mulia, “ demikian kurang lebih saran Shalahuddin al Ayyubi.
Mursi
Lelaki ini sebelumnya tak kukenal. Apalagi ia yang mengenalku. Apa sih
kontribusi Mursi dalam hidupku? Tak pernah beli bukuku, memberi
sumbangan royalty, apalagi memberikan jasa-jasa yang lain.
Saya dan suami, sering bertemu orang aneh. Kami sepakat, hati tidak
bisa ditipu. Bertemu tukang becak, supir taksi, satpam ; ah, kenapa
jatuh cinta ya? Oh, ternyata ia orang baik. Bertemu pejabat ini itu,
aduh…kok hati rasa gerah ya? Oh, ternyata memang mereka punya udang di
balik batu. Kadang, kita memakai hati sebagai intuisi untuk mengenal
manusia.
Muhammad Mursi. Apa kita pernah bertemu, bertatap muka? Tidak. Tapi
saya tak bisa memungkiri bahwa hati ini terlanjur jatuh cinta pada
Mr.President. Jatuh cinta pada hafalan Qurannya. Jatuh cinta pada
istrinya yang menyambangi para janda. Jatuh cinta pada pilihannya pada
Hisyam Kandil sebagai PM -dulu. Jatuh cinta pada keputusan-keputusannya.
Jatuh cinta pada sikapnya terhadap Rafah, Gaza.
Memang siapa yang merekayasa itu semua? Mursi tak pernah memberi kita
apa-apa. Ikhwanul Muslimin juga tidak. Mesir? Apa pernah
menggelontorkan bantuan untuk Indonesia agar terlepas dari hutang? Tidak
juga. Tapi, kenapa bisa kita mencintai Mesir, Mursi, Ikhwanul Muslimin,
rakyat Palestina dan rakyat Mesir? Karena , meski kita manusia yang
sehari-hari berkubang dosa. Suka bermaksiat. Suka menggunjing. Suka
mencemooh dan mengejek kegagalan orang. Jauh di lubuk manusia terdalam,
terdapat sebuah titik.
Imam Ghazali menyebutnya “titik hati” yang secara elektris bergetar
saat dekat dengan Tuhan. Mungkin, titik hatik kecil kita, noktah putih
itu. Yang masih menyisakan dzikir padaNya. Tak bisa memungkiri bahwa di
balik semua sifat keburukan manusia yang kita punya, di relung terdalam
nurani, ada getaran cinta murni yang muncul tiap kali bertemu sesuatu
yang juga murni dan jernih. Maka kita menangis ketika Uje wafat (meski
tak kenal). Maka kita terketuk menyantuni anak yatim (meski kita tak
kenal). Maka kita terketuk membantu korban bencana (meski tak kenal).
Dan noktah putih kecil dalam hati ini, jatuh cinta tanpa disadari kepada
orang-orang yang tidak kita kenal sama sekali. Mursi, Ikhwanul
Muslimin, rakyat Mesir.
Memangnya, ada pihak yang pernah memaksa kita untuk mencintai Mursi?
Tidak. Tetapi apakah orang kecil seperti saya. Rakyat jelata yang masih
dilanda kesulitan beraneka ragam, dilanda kerusuhan kriminalitas dan
kesenjangan ekonomi; tidak pantas jatuh cinta pada Presiden penghafal
Quran yang terus berjuang dalam kebaikan seperti Mursi? Apa saya tidak
semakin mencintai Mursi , ketika seorang Syaikh Gaza di Ramadhan ini
menjadi imam masjid kami bercerita : “ jika Mesir kuat, kuatlah
Palestina. Begitupun sebaliknya. Bersama Mursi, kami kuat. Mursi, setiap
hari selalu bertanya : bagaimana kabar al Aqsho hari ini?”
Apakah salah, bila tanpa kita sadari, jatuh cinta pada pemimpin seperti Mursi?
(Ahmad Muslim)
Sumber: Eramuslim.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar